Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mempelajari lebih dulu putusan itu.
"Kita pelajari dulu. Saya baru mendapatkan informasi, kita pelajari dulu karena saat ini pun kan sedang dalam proses revisi Undang-Undang Pemilu," kata Wamendagri Bima Arya di IPDN, Jawa Barat, Kamis (26/6/2025).
Bima mengatakan putusan MK dipelajari dan diletakkan dengan konteks revisi Undang-Undang Pemilu. Bima juga mengatakan telah ada masukan terkait pemisahan itu sebelumnya dari elemen masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya pasti (putusan jadi pertimbangan di revisi UU) Keputusan MK kan pandangan banding, tapi bagaimana eksekusi dan implementasinya kita harus pelajari detail dulu," ucap dia.
"Itu salah satu yang gencar disuarakan oleh teman-teman kampus dan pemerhati pemilu," tambahnya.
Diketahui, MK memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.
"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden'," ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan amar putusan, Kamis (26/6).
Gugatan ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem meminta agar pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan pemilu tingkat daerah.
Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Perludem menilai pemilu serentak dengan lima kotak suara di TPS telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Pemohon menilai pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja.
Pemohon menilai pengaturan jadwal pemilu berdampak serius terhadap pemenuhan asas penyelenggaraan pemilu yang diatur Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dia mengatakan pengaturan pada UU Pemilu yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden, DPR, DPD, dibarengi dengan Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota telah membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus.
Pemohon pun meminta pemilu dipisah menjadi pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden serta pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah. Pemohon juga meminta ada jeda 2 tahun antara pemilu nasional dan daerah.
(ial/dek)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini