Jakarta -
Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti masih maraknya kasus penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan. Terlebih saat perempuan lantang mengutarakan pendapatnya.
Komisioner Komnas Perempuan, Daden Iskandar, menyebutkan, sepanjang 2024, pihaknya mencatat ada 13 kasus yang mencuat terkait penyiksaan perempuan. Tren seperti itu, menurut dia, terus berulang dari waktu ke waktu.
Hal itu disampaikan Daden setelah diskusi bertajuk 'Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan'. Diskusi itu digelar dalam rangka memperingati Hari Anti-Penyiksaan Internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan tadi dari narasumber disampaikan ada semacam kemunduran gitu. Nah ini yang perlu kita perhatikan bersama tentunya dan perlu kita dorong agar hak-hak korban yang paling tidak pertama kan korban itu memiliki hak untuk betul-betul mereka mengetahui kebenaran dari suatu kasus itu," kata Daden di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).
Selain itu, para korban berhak mendapatkan keadilan hingga pemulihan. Namun, yang lebih penting, menurutnya, tidak adanya keberulangan atas kasus yang serupa.
"Jadi jangan sampai justru dengan adanya orang-orang yang berani speak up, berani berbicara malah misalnya mereka kepercayaan dirinya menjadi hilang," ucapnya.
Karena itu, dia menilai pemerintah hingga masyarakat harus ciptakan ruang-ruang aman sehingga korban bisa kembali pulih.
"Ruang aman seperti ini untuk berbicara, untuk memberikan kepercayaan diri, membangkitkan kembali kepercayaan dirinya itu penting," terang Daden.
"Jangan sampai suara perempuan yang vokal memperjuangkan keadilan, memperjuangkan kebenaran itu dibungkam," katanya.
Dalam diskusi, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan Sondang Frishka menyebutkan bahwa tidak ada keadilan di dalam penderitaan akibat penyiksaan. Begitu pula terhadap penghukuman, perlakukan yang tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
"Kita memiliki tagline 'no justice in pain' juga disepakati untuk memberikan pesan kuat bahwa tidak ada keadilan di dalam penderitaan akibat penyiksaan," tegas Sondang.
Karena itu, pihaknya kembali merekomendasikan poin-poin yang telah tertuang dalam konvensi anti penyiksaan. Dia meminta kerangka hukum diperbaiki agar tidak terjadi lagi penyiksaan kepada perempuan.
"Apa saja yang bisa dilakukan, pertama memperbaiki kerangka hukum. Itu sudah pasti, apa yang di depan mata dan bisa kita lakukan itu ada revisi KUHAP. Revisi KUHAP, kita harus benar-benar mengupayakan supaya ada mekanisme untuk memastikan tidak terjadi penyiksaan," ungkapnya.
Selain itu, Komnas Perempuan mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat mekanisme nasional untuk pencegahan penyiksaan
"Jadi itu untuk memastikan negara mengadopsi mekanisme penjagaan nasional," pungkasnya.
(ond/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini