Komisi II DPR Soroti Putusan MK soal Pemilu, Singgung Bikin Norma Sendiri

6 hours ago 1

Jakarta -

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Rifqinizamy menilai seharusnya MK tidak membuat norma baru di luar DPR dan pemerintah.

Mulanya, Rifqinizamy menjelaskan MK bersifat negative legislature atau membatalkan norma yang ada dalam UU jika bertentangan dengan UUD 1945. Namun, kata dia, saat ini MK telah bertindak sebagai positive legislature atau pembentuk norma baru.

"Kalau disebutkan inkonstitusional, maka serahkan kepada presiden atau pemerintah dan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang, yang juga diberikan kewenangan Undang-Undang Dasar untuk kemudian menyempurnakan norma yang inkonstitusional itu," kata Rifqinizamy di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri," sambungnya.

Menurutnya, jika hal itu terjadi secara terus-menerus, tidak akan ada demokrasi konstitusional. Padahal, menurut dia, seharusnya antarlembaga dapat saling menghargai.

"Nanti kami revisi Undang-Undang Pemilu, belum dilaksanakan, di-judicial review, diterbitkan norma baru. Kemudian kita hadirkan lagi. Nah kalau seperti ini terus, menurut pandangan saya kita tidak bisa saling menghargai antar-lembaga negara," ujarnya.

"Karena itu, kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Karena bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi kita semua untuk kemudian melihat lebih jauh, bagaimana proses pembentukan hukum nasional kita ke depan," sambungnya.

Lebih lanjut, Rifqinizamy mengatakan pihaknya telah menggelar rapat bersama pimpinan DPR, pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu mengenai putusan MK yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Rapat itu digelar pagi tadi.

"Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR, Bapak Prof Dr Sufmi Dasco Ahmad dan pimpinan yang lain, membicarakan terkait dengan respons DPR soal putusan Mahkamah Konstitusi terbaru, yang memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model pemilu," ujarnya.

Meski begitu, Rifqinizamy mengatakan pihaknya belum dapat memberikan sikap resmi mengenai putusan tersebut. Sebab, kata dia, perlu kajian yang mendalam terkait putusan MK itu.

Terlebih, dia mengatakan putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai kontradiktif dengan putusan MK Nomor 55 pada 2019. Di mana, saat itu MK dalam pertimbangannya memberikan panduan kepada DPR dan pemerintah untuk memilih model keserentakan pemilu.

"Yang 1 dari 6 model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada Pemilu 2024 yang lalu," tuturnya.

"Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba dalam tanda kutip bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi UU Pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini. Nah karena itu sekali lagi izinkan kami melakukan pendalaman dan penelaahan," imbuh dia.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

(maa/gbr)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |