Jakarta -
Kementerian Luar Negeri Indonesia menjelaskan forum konsultatif informal negara-negara kekuatan menengah MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turkiye, dan Australia) mempunyai peran penting dalam menciptakan dunia yang lebih stabil dan inklusif. Keikutsertaan Indonesia dalam forum tersebut karena didasarkan prinsip kebijakan luar negeri yang menjunjung tinggi keterlibatan aktif, multilateralisme, dan upaya untuk menjembatani berbagai kepentingan atau bridge builder.
Hal itu disampaikan Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia, Tri Purnajaya, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia bekerja sama dengan The Korea Foundation dalam program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2025. Diskusi yang menghadirkan pembicara dari perwakilan negara-negara MIKTA itu mengangkat tema 'How Can MIKTA Members Synergize to Reinvigorate Middle Power Diplomacy'.
Tri menjelaskan MIKTA merupakan lima negara demokrasi dan kekuatan menengah yang berasal dari lintas kawasan. Dia mengatakan MIKTA menggunakan diplomasi untuk membentuk gagasan, membangun konsensus dan mempengaruhi wacana global yang mungkin saat ini diabaikan oleh negara-negara kekuatan besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami melihat MIKTA sebagai platform yang fleksibel, lincah, dan berbasis nilai, yang memungkinkan kekuatan menengah untuk pertama, memperkuat suara mereka dalam isu-isu global yang penting, mulai dari respons terhadap pandemi, pembangunan inklusif, tata kelola digital, hingga ketahanan pangan," ujar Tri.
"Kedua, membangun koalisi lintas kawasan dan institusi tanpa harus terikat pada aliansi yang kaku atau perjanjian formal. Ketiga, mendorong dialog dan menjembatani perbedaan kebijakan, khususnya antara negara-negara global utara dan selatan," sambung dia.
Berdasarkan sudut pandang Indonesia, kata Tri, MIKTA melengkapi keterlibatan multilateral Indonesia yang lebih luas seperti melalui ASEAN, G20, dan PBB. Dia mencontohkan bagaimana negara-negara anggota MIKTA memberikan masukan yang berharga saat kepemimpinan Indonesia dalam presidensi G20 pada 2022 lalu. Dia juga menyampaikan apresiasi keterlibatan MIKTA dalam upaya kerja sama negara Selatan-Selatan.
"Kami percaya bahwa salah satu kekuatan MIKTA terletak tidak hanya pada apa yang dilakukannya, tetapi juga bagaimana cara kerjanya. Sejak awal, format MIKTA bersifat informal, berbasis konsensus, dan adaptif," ujar Tri.
Selain itu, kata Tri, di berbagai forum internasional dan multilateral, semakin banyak pernyataan yang dikeluarkan atas nama MIKTA. Menurut dia, ini menjadi pertanda positif bahwa MIKTA semakin dikenal dan masyarakat internasional mulai memahami apa yang MIKTA ingin sampaikan.
"Di sinilah MIKTA berbeda dari paradigma tradisional. Ia bukan sebuah blok atau aliansi dalam pengertian klasik, melainkan bentuk konvergensi kebijakan dari negara-negara kekuatan menengah yang percaya pada tatanan internasional berbasis aturan. Namun, kami juga ingin turut membentuk ulang tatanan tersebut agar lebih adil, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan negara-negara berkembang," kata dia.
Mantan Wakil Duta Besar Indonesia untuk Jepang itu menjelaskan prinsip MIKTA juga sejalan dengan visi politik luar negeri Indonesia yaitu bebas dan aktif. Tri mengatakan MIKTA memungkinkan Indonesia menjalankan diplomasi multilateral yang proaktif dan konstruktif.
"Penting untuk ditekankan bahwa diplomasi saat ini bukan lagi ranah eksklusif negara. Ia semakin dibentuk oleh narasi, keterlibatan publik, dan kemampuan untuk membingkai isu-isu global agar dapat diterima dan dipahami lintas masyarakat," tutur Tri.
(knv/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini