Bolehkah Wanita Haid Memegang Al Quran Terjemahan?

12 hours ago 4

loading...

Wanita haid atau junub boleh memegang al quran terjemah atau tafsir, tetapi untuk mushaf al Quran dilarang menyentuhnya. Foto ilustrasi/ist

Bolehkah wanita haid memegang Al Qur'an terjemahan? Pertanyaan ini sering dilontarkan kaum muslimah, terutama larangan untuk wanita berhadast memegang mushaf Al Qur'an , apalagi membacanya.

Dalam Islam, haid termasuk hadats besar yang bisa dihilangkan dengan mandi wajib. Namun ada perbedaan antara hadast dengan junub dan hadast dengan haid dari segi waktu. Jika hadats karena junub bisa dihilangkan saat itu juga, berbeda dengan hadats karena haid yang memiliki durasi waktu yang cukup panjang untuk mensucikan hadats tersebut. Sehingga agama islam memberika kemudahkan kepada para wanita dalam beribadah karena faktor tersebut.

Dalam ash-Shahihain, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan bahwasanya beliau pernah berkata kepada istri beliau, Aisyah, ketika Aisyah mengalami haid pada waktu berhaji,

اِفْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُ غَيْرَ أَلاَّ تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتىَّ تَطْهُرِيْ

“Lakukanlah apa saja yang dilakukan oleh jama’ah haji lainnya selain tawaf di Kakbah, hingga engkau suci.”
(HR Bukhari Muslim)

Namun untuk menyentuh al-Qur’an terjemah atau tafsirnya bagi wanita haid atau junub, menurut Ustaz Abu Rufaydah, Lc., MA, dari lembaga bimbingan Islam, diperbolehkan sebagaimana dijelaskan Ensiklopedi Fiqh,

يَجُوزُ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الفُقَهَاءِ لِلْمُحْدِثِ مَسَّ كُتُبِ التَّفْسِيْرِ وَإِنْ كَانَ فِيْهَا آَيَاتٌ مِنَ الْقُرْآنِ وَحَمِلَهَا وَالْمُطَالَعَةِ فِيْهَا ، وَإِنْ كَانَ جُنُباً ، قَالٌوا : لِأَّنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ التَّفْسِيْرِ : مَعَانِي القرآن ، لَا تِلاَوَتُهُ ، فَلاَ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامَ القرآن

“Menurut jumhur ulama, orang yang hadats -termasuk wanita haid atau orang junub- boleh menyentuh kitab tafsir, membawanya, atau mempelajarinya. Meskipun di sana terdapat ayat-ayat al-Quran. Mereka mengatakan, karena sasaran kitab tafsir adalah makna al-Quran, bukan untuk membaca al-Quran. Sehingga tidak berlaku aturan al-Quran.”

Kemudian diberikan rincian,

وَصَرَّحَ الشَّافَعَيَّةُ بِأَنَّ الجَوَازَ مَشْرُوطٌ فِيْهِ أَنْ يَكٌونَ التَّفْسِيْرَ أّكْثَر مِنَ القرآن لِعَدَمِ الإِخْلاَلِ بِتَعْظِيْمِهِ حِيْنَئِذٍ ، وَلَيْسَ هُوَ فِي مَعْنَى المُصْحَفِ. وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الحَنَفِيَّةُ ، فَأَوْجِبُوا الوُضٌوْءَ لِمَسِّ كُتُبِ التّفْسِيْرِ

“(Para ulama) Syafi’iyah menegaskan, bahwa bolehnya menyentuh kitab tafsir, dengan syarat jika tulisan tafsirnya lebih banyak dibandingkan teks al-Quran-nya, sehingga tidak lagi disebut menyepelekan kemuliaan al-Quran.
Dan kitab tafsir tidak disebut mushaf al-Quran. Sementara Hanafiyah memiliki pendapat berbeda, mereka mewajibkan wudhu bagi yang menyentuh kitab-kitab tafsir.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 13/97).

Adapun memegang al-Qur’an murni (bukan terjemah atau tafsir), maka jumhur ulama berpendapat tidak boleh bagi yang memiliki hadats kecil atau besar untuk memegang mushaf al-Qur’an.

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |